Pages

Jumat, 27 September 2013

Makalah Agama Islam tentang Adopsi Anak


PANDANGAN AGAMA ISLAM TERHADAP ADOPSI

Disusun oleh:
Rizky Putri Hardyanti   

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG
JURUSAN KEBIDANAN
PROGRAM STUDI D-III KEBIDANAN KEDIRI
Jl. K.H. Wachid Hasyim No. 64 B Kediri


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Anak merupakan anugerah dari Allah SWT. Ia merupakan buah hati antara dua pasangan suami istri yang sah menurut hukum dan agama. Anaklah yang membuat sebuah keluarga menjadi bahagia dan sempurna. Ia lahir dari rahim seorang ibu yang mengandungnya. Ia diasuh oleh orang tuanya dengan penuh kasih sayang dan kebahagiaan. Orang tualah yang mendidiknya menjadi anak yang lebih baik sejak ia kecil. Pendidikan yang paling utama dan awal merupakan pendidikan dari orang tua mereka masing-masing.
Akan tetapi tidak semua anak dapat mendapatkan kasih sayang dan kebahagiaan dari orang tuanya. Bagi anak-anak yatim piatu maupun anak-anak terlantar jarang yang bisa mendapat kasih sayang bahkan ada juga yang belum pernah mendapatkannya. Karena sejak kecil orang tua mereka ada yang sudah meninggal dunia. Mereka tidak pernah mendapatkan pendidikan dari orang tuanya sendiri. Mereka juga banyak yang tidak bisa mendapatkan pendidikan yang layak. Lingkunganlah yang membentuk dan mempengaruhi karakter anak-anak tersebut. Mereka akan mencari jati dirinya sesuai dengan lingkungan luar yang kadang kurang baik untuk membentuk karakter anak. Untuk memenuhi kebutuhannya, mereka ada yang menjadi pengemis, pemulung, pengamen jalanan, dan sebagainya. Bahkan ada juga yang melakukan tindakan-tindakan yang negatif, seperti mencuri.

B.     Rumusan Masalah
a.       Apa yang dimaksud dengan adopsi?
b.      Bagaimana hukum adopsi menurut pandangan Agama Islam?

C.    Tujuan
a.       Untuk mengetahui maksud dari adopsi.
b.      Untuk mengetahui hukum mengadopsi anak menurut pandangan Agama Islam.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Adopsi
Secara etimologi adopsi berasal dari kata “adoptie” bahasa Belanda atau “adopt”(adoption) bahasa Inggris, yang berarti pengangkatan anak, mengangkat anak. Dalam bahasa Arab disebut “tabanni” yang menurut Prof. Mahmud Yunus diartikan dengan “ mengambil anak angkat” sedang dalam Kamus Munjid diartikan“ittikhadzahu ibnan” , yaitu “ menjadikannya sebagai anak. Adopsi adalah pengambilan anak yang dilakukan oleh seseorang terhadap anak yang jelas nasabnya untuk dijadikan anaknya sendiri. Hal ini itu dilakukan untuk memberi kasih sayang, nafkah pendidikan dan keperluan lainnya. Rosulullah SAW pernah melakukan adopsi, yakni ketika mengangkat Zaid bin Haritsah sebagai anaknya.
Adopsi dibagi menjadi dua, yakni:
1.      Mengangkat anak orang lain untuk dijadikan anaknya sendiri tanpa memberi status sebagai anak kandungnya sendiri.
2.      Mengangkat anak orang lain untuk dijadikan anaknya sendiri dan memberi atatus sebagai anak kandung sehingga ia berhak memakai nasab orang tua angkatnya dan mewarisiharta peninggalannya, dan hak-hak lainnya sebagai hubungan anak dan orang tua.
Menurut Hilman Kusuma, S. H mengemukakan pendapatnya dengan mengatakan bahwa anak angkat adalah anak orang lain yang dianggap anak sendiri oleh orang tua angkat dengan resmi menurut hukum adat setempat dikarenakan tujuan untuk kelangsungan keturunan dan pemeliharaan atas harta kekayaan rumah tangga. Sedangkan surojo wingjodipura, S.H.  mengatakan bahwa adopsi ( mengangkat anak ) adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang lain kedalam keluarga sendiri sedemikian rupa sehingga antara orang yag memungut anak dan anak yang dipungut itu timbul suatu hukum kekeluargaan yang sama, seperti yang ada diantara orang tua dan anak.
Dalam hukum positif Indonesia telah diberi beberapa peraturan yang terdapat dalam perundang-undangan Indonesia yang memberikan pengertian khusus tentang pangangkatan anak dan anak angkat, yakni sebagai berikut:
a.       Menurut Pasal 1 butir 2 Peraturan Pemerintah No.54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak, pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkat.
b.      Sedangkan pada Pasal 1 butir 9 Undang-Undang No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak menjelaskan bahwa anak abgkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan pembesaran anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan.
B.     Hukum Adopsi Anak Menurut Pandangan Agama Islam    
Dalam ajaran Agama Islam antara orang tua angkat dan anak angkatnya tidak ada hubungan nasab. Nasab adalah legalitas (keabsahan; perihal atau keadaan sah) hubungan kekeluargaan yang berdasarkan pertalian darah, sebagai salah satu akibat dari pernikahan yang sah, atau nikah fasid, atau senggama syubhat (zina). Dengan adanya hubungan nasab seseorang berhak untuk mendapatkan hak-hak, seperti hukum warisan, pernikahan, perwalian dan sebagainya.
Hukum adopsi di atur dalam Alquran surat Al-Ahzab ayat 4-5, sebagai berikut:

Artinya: (4) Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar[1198] itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). (5) Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu[1199]. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. ( Q.S. Al-Ahzab: 4-5)[1]
Surat Al-Ahzab ayat 4-5 tersebut dalam garis besarnya dapat dirumuskan sebagai berikut:
a)      Allah tidak menjadikan dua hati dalam dada manusia.
b)      Anak angkatmu bukanlah anak kandungmu.
c)      Panggillah anak angkatmu menurut nama bapaknya.
Dari ketentuan di atas sudah jelas bahwa yang dilarang adalah pengangkatan anak sebagai anak kandung dalam segala hal.
Dalam ayat lain tentang kisah pernikahan sahabat Zaid bin Haritsah radhiyallahu’anhu 9yang pernah menjadi anak angkat Rasulullah SAW, sebelum adanya pelarangan) dengan Zainab binti Jahsy radhiyallahu’anha, Allah berfirman dalam Q.S. Al-Ahzab ayat 37:
Artinya: “Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya: "Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah", sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia[1219] supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya[1220]. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi."[2]  
Mengangkat anak orang lain untuk diperlakukan, dijadikan, diakui sebagai anak sendiri (waladush shulbi au radha’) hukumnya tidak sah. Hal ini sesuai dengan penjelasan hadist dari beberapa kitab, yaitu:
1.      Kitab Lubab al-Ta’wil fi Ma’ani al Tanzila
Sungguh Nabi Saw. bersabda: “Barangsiapa mengaku orang lain sebagai bapaknya, dan ia tahu bahwa orang tersebut memang bukan bapaknya, maka surge diharamkan terhadap dirinya.”
2.      Kitab Ma’alim al-Tanzil
Qatadah berkata: “Siapa pun tidak boleh berkata tentang Zaid bin Haritsah: “Zaid bin Muhammad. “Jika seseorang dengan sengaja mengatakan seperti itu, maka ia telah maksiat, dan barangsiapa bermaksiat kepada Allah Swt. Dan Rasul-Nya, maka niscaya ia tersesat dengan kesesatan yang sangat jauh.”
             Islam tetap membolehkan adopsi dengan ketentuan :
1.     Nasab anak angkat tetap dinisbatkan kepada orang tua kandungnya, bukan kepada orang tua angkatnya.
2.     Anak angkat itu dibolehkan dalam Islam, tetapi sekedar sebagai anak asuh, tidak boleh disamakan dengan status anak kandung, baik dari segi pewarisan, hubungan mahram, maupun wali ( dalam perkawinan ).
3.     Karena anak angkat itu tidak boleh menerima harta warisan dari orang tua angkatnya, maka boleh mendapatkan harta benda dari orang tua angkatnya berupa hibah, yang maksimal sepertiga dari jumlah kekayaan orang tua angkatnya.

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Adopsi dalam bahasa Arab disebut “Tabanni” yang menurut Prof. Mahmud Yunus diartikan dengan “ mengambil anak angkat” sedang dalam Kamus Munjid diartikan“ittikhadzahu ibnan” , yaitu “ menjadikannya sebagai anak. Adopsi adalah pengambilan anak yang dilakukan oleh seseorang terhadap anak yang jelas nasabnya untuk dijadikan anaknya sendiri. Hal ini itu dilakukan untuk memberi kasih sayang, nafkah pendidikan dan keperluan lainnya.
2.      Hukum adopsi dalam islam adalah di bolehkan, bahkan dapat dikatakan sebagai amal istimewa karena mereka bisa mendapatkan kasih sayang dari orang lain. Dengan syarat tidak memperlakukan anak tersebut persis seperti anak kandungnya sendiri dalam penisbatan namanya, dalam hukum kemahraman dan kewarisan. Dan anak yang diangkat tersebut tetap dinisbatkan kepada nama bapak kandungnya. Jika dalam pengangkatan tidak sesuai dengan syarat tersebut maka dalam Islam hukumnya adalah haram. Hal ini sesuai dengan Alquran surat Al-Ahzab ayat 4-5.
B.     Saran
1.      Bagi masyarakat khususnya yang mempunyai keinginan untuk mengangkat atau mengadopsi anak sebaiknya mengetahui terlebih dahulu persyaratan-persyaratan dan hukum yang berlaku.
2.      Penulis menganggap bahwa dalam penyusunan makalah ini masih sangat jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritikan dan saran yang bersifat membangun, mendidik masih sangat kami harapkan demi perbaikan makalah selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA
Mahfudh, Sahal MA.2011.Solusi Problematika Aktual hukum Islam.Surabaya:Khalista.




[1] [1198]. Zhihar ialah perkataan seorang suami kepada istrinya: punggungmu haram bagiku seperti punggung ibuku atau perkataan lain yang sama maksudnya. Adalah menjadi adat kebiasaan bagi orang Arab Jahiliyah bahwa bila dia berkata demikian kepada istrinya maka istrinya itu haramnya baginya untuk selama-lamanya. Tetapi setelah Islam datang, maka yang haram untuk selama-lamanya itu dihapuskan dan istri-istri itu kembali halal baginya dengan membayar kaffarat (denda).
[1199]. Maula-maula ialah seorang hamba sahaya yang sudah dimerdekakan atau seorang yang telah dijadikan anak angkat, seperti Salim anak angkat Huzaifah, dipanggil maula Huzaifah.
[2] [1219]. Maksudnya: setelah habis idahnya.
[1220]. Yang dimaksud dengan orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya ialah Zaid bin Haritsah. Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dengan memberi taufik masuk Islam. Nabi Muhammadpun telah memberi nikmat kepadanya dengan memerdekakan kaumnya dan mengangkatnya menjadi anak. Ayat ini memberikan pengertian bahwa orang boleh mengawini bekas isteri anak angkatnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar