PANDANGAN AGAMA ISLAM TERHADAP ADOPSI
Disusun oleh:
Rizky
Putri Hardyanti
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG
JURUSAN KEBIDANAN
PROGRAM STUDI D-III KEBIDANAN KEDIRI
Jl. K.H. Wachid Hasyim No. 64 B Kediri
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Anak
merupakan anugerah dari Allah SWT. Ia merupakan buah hati antara dua pasangan
suami istri yang sah menurut hukum dan agama. Anaklah yang membuat sebuah
keluarga menjadi bahagia dan sempurna. Ia lahir dari rahim seorang ibu yang
mengandungnya. Ia diasuh oleh orang tuanya dengan penuh kasih sayang dan kebahagiaan.
Orang tualah yang mendidiknya menjadi anak yang lebih baik sejak ia kecil.
Pendidikan yang paling utama dan awal merupakan pendidikan dari orang tua
mereka masing-masing.
Akan
tetapi tidak semua anak dapat mendapatkan kasih sayang dan kebahagiaan dari
orang tuanya. Bagi anak-anak yatim piatu maupun anak-anak terlantar jarang yang
bisa mendapat kasih sayang bahkan ada juga yang belum pernah mendapatkannya.
Karena sejak kecil orang tua mereka ada yang sudah meninggal dunia. Mereka
tidak pernah mendapatkan pendidikan dari orang tuanya sendiri. Mereka juga
banyak yang tidak bisa mendapatkan pendidikan yang layak. Lingkunganlah yang
membentuk dan mempengaruhi karakter anak-anak tersebut. Mereka akan mencari
jati dirinya sesuai dengan lingkungan luar yang kadang kurang baik untuk
membentuk karakter anak. Untuk memenuhi kebutuhannya, mereka ada yang menjadi
pengemis, pemulung, pengamen jalanan, dan sebagainya. Bahkan ada juga yang
melakukan tindakan-tindakan yang negatif, seperti mencuri.
B.
Rumusan Masalah
a.
Apa
yang dimaksud dengan adopsi?
b.
Bagaimana
hukum adopsi menurut pandangan Agama Islam?
C.
Tujuan
a.
Untuk
mengetahui maksud dari adopsi.
b.
Untuk
mengetahui hukum mengadopsi anak menurut pandangan Agama Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Adopsi
Secara etimologi adopsi berasal dari kata
“adoptie” bahasa Belanda atau “adopt”(adoption) bahasa Inggris, yang berarti
pengangkatan anak, mengangkat anak. Dalam bahasa Arab disebut “tabanni” yang
menurut Prof. Mahmud Yunus diartikan dengan “ mengambil anak angkat” sedang
dalam Kamus Munjid diartikan“ittikhadzahu ibnan” , yaitu “ menjadikannya
sebagai anak. Adopsi adalah pengambilan anak yang
dilakukan oleh seseorang terhadap anak yang jelas nasabnya untuk dijadikan
anaknya sendiri. Hal ini itu dilakukan untuk memberi kasih
sayang, nafkah pendidikan dan keperluan lainnya. Rosulullah
SAW pernah melakukan adopsi, yakni ketika mengangkat Zaid bin Haritsah sebagai
anaknya.
Adopsi
dibagi menjadi dua, yakni:
1.
Mengangkat
anak orang lain untuk dijadikan anaknya sendiri tanpa memberi status sebagai
anak kandungnya sendiri.
2.
Mengangkat anak orang lain untuk dijadikan
anaknya sendiri dan memberi atatus sebagai anak kandung sehingga ia berhak
memakai nasab orang tua angkatnya dan mewarisiharta peninggalannya, dan hak-hak
lainnya sebagai hubungan anak dan orang tua.
Menurut Hilman
Kusuma, S. H mengemukakan pendapatnya dengan mengatakan bahwa anak angkat
adalah anak orang lain yang dianggap anak sendiri oleh orang tua angkat dengan
resmi menurut hukum adat setempat dikarenakan tujuan untuk kelangsungan
keturunan dan pemeliharaan atas harta kekayaan rumah tangga. Sedangkan surojo
wingjodipura, S.H. mengatakan bahwa
adopsi ( mengangkat anak ) adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang lain
kedalam keluarga sendiri sedemikian rupa sehingga antara orang yag memungut
anak dan anak yang dipungut itu timbul suatu hukum kekeluargaan yang sama,
seperti yang ada diantara orang tua dan anak.
Dalam
hukum positif Indonesia telah diberi beberapa peraturan yang terdapat dalam
perundang-undangan Indonesia yang memberikan pengertian khusus tentang
pangangkatan anak dan anak angkat, yakni sebagai berikut:
a.
Menurut Pasal 1 butir 2 Peraturan Pemerintah
No.54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak, pengangkatan anak
adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak dari lingkungan
kekuasaan orang tua, wali yang sah atau orang lain yang bertanggung jawab atas
perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan
keluarga orang tua angkat.
b.
Sedangkan pada Pasal 1 butir 9 Undang-Undang
No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak menjelaskan bahwa anak abgkat adalah
anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali
yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan
pembesaran anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya
berdasarkan putusan pengadilan.
B.
Hukum
Adopsi Anak Menurut Pandangan Agama Islam
Dalam
ajaran Agama Islam antara orang tua angkat dan anak angkatnya tidak ada
hubungan nasab. Nasab adalah legalitas (keabsahan; perihal atau keadaan sah)
hubungan kekeluargaan yang berdasarkan pertalian darah, sebagai salah satu
akibat dari pernikahan yang sah, atau nikah fasid, atau senggama syubhat
(zina). Dengan adanya hubungan nasab seseorang berhak untuk mendapatkan
hak-hak, seperti hukum warisan, pernikahan, perwalian dan sebagainya.
Hukum
adopsi di atur dalam Alquran surat Al-Ahzab ayat 4-5, sebagai berikut:
Artinya:
(4) Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah
hati dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar[1198]
itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak
kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. Dan
Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). (5)
Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak
mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui
bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama
dan maula-maulamu[1199]. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap
apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh
hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. ( Q.S. Al-Ahzab:
4-5)[1]
Surat Al-Ahzab ayat 4-5 tersebut dalam garis besarnya dapat
dirumuskan sebagai berikut:
a)
Allah
tidak menjadikan dua hati dalam dada manusia.
b)
Anak
angkatmu bukanlah anak kandungmu.
c)
Panggillah
anak angkatmu menurut nama bapaknya.
Dari ketentuan di atas sudah jelas bahwa yang dilarang adalah pengangkatan
anak sebagai anak kandung dalam segala hal.
Dalam ayat lain tentang kisah pernikahan sahabat Zaid bin Haritsah
radhiyallahu’anhu 9yang pernah menjadi anak angkat Rasulullah SAW, sebelum
adanya pelarangan) dengan Zainab binti Jahsy radhiyallahu’anha, Allah berfirman
dalam Q.S. Al-Ahzab ayat 37:
Artinya: “Dan (ingatlah), ketika kamu berkata
kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga)
telah memberi nikmat kepadanya: "Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah
kepada Allah", sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah
akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih
berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap
istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia[1219]
supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri
anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan
keperluannya daripada isterinya[1220]. Dan adalah ketetapan
Allah itu pasti terjadi."[2]
Mengangkat
anak orang lain untuk diperlakukan, dijadikan, diakui sebagai anak sendiri (waladush
shulbi au radha’) hukumnya tidak sah. Hal ini sesuai dengan penjelasan
hadist dari beberapa kitab, yaitu:
1.
Kitab Lubab al-Ta’wil fi Ma’ani al Tanzila
Sungguh Nabi Saw. bersabda: “Barangsiapa
mengaku orang lain sebagai bapaknya, dan ia tahu bahwa orang tersebut memang
bukan bapaknya, maka surge diharamkan terhadap dirinya.”
2.
Kitab Ma’alim al-Tanzil
Qatadah berkata: “Siapa pun tidak boleh berkata
tentang Zaid bin Haritsah: “Zaid bin Muhammad. “Jika seseorang dengan sengaja
mengatakan seperti itu, maka ia telah maksiat, dan barangsiapa bermaksiat
kepada Allah Swt. Dan Rasul-Nya, maka niscaya ia tersesat dengan kesesatan yang
sangat jauh.”
Islam tetap
membolehkan adopsi dengan ketentuan :
1. Nasab
anak angkat tetap dinisbatkan kepada orang tua kandungnya, bukan kepada orang
tua angkatnya.
2. Anak
angkat itu dibolehkan dalam Islam, tetapi sekedar sebagai anak asuh, tidak
boleh disamakan dengan status anak kandung, baik dari segi pewarisan, hubungan
mahram, maupun wali ( dalam perkawinan ).
3. Karena
anak angkat itu tidak boleh menerima harta warisan dari orang tua angkatnya,
maka boleh mendapatkan harta benda dari orang tua angkatnya berupa hibah, yang
maksimal sepertiga dari jumlah kekayaan orang tua angkatnya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Adopsi dalam bahasa Arab disebut “Tabanni” yang
menurut Prof. Mahmud Yunus diartikan dengan “ mengambil anak angkat” sedang
dalam Kamus Munjid diartikan“ittikhadzahu ibnan” , yaitu “ menjadikannya
sebagai anak. Adopsi adalah pengambilan anak yang dilakukan oleh seseorang
terhadap anak yang jelas nasabnya untuk dijadikan anaknya sendiri. Hal ini itu
dilakukan untuk memberi kasih sayang, nafkah pendidikan dan keperluan lainnya.
2.
Hukum adopsi dalam islam adalah di bolehkan,
bahkan dapat dikatakan sebagai amal istimewa karena mereka bisa mendapatkan
kasih sayang dari orang lain. Dengan syarat tidak memperlakukan anak tersebut
persis seperti anak kandungnya sendiri dalam penisbatan namanya, dalam hukum
kemahraman dan kewarisan. Dan anak yang diangkat tersebut tetap dinisbatkan
kepada nama bapak kandungnya. Jika dalam pengangkatan tidak sesuai dengan
syarat tersebut maka dalam Islam hukumnya adalah haram. Hal ini sesuai dengan
Alquran surat Al-Ahzab ayat 4-5.
B.
Saran
1.
Bagi masyarakat khususnya yang mempunyai
keinginan untuk mengangkat atau mengadopsi anak sebaiknya mengetahui terlebih
dahulu persyaratan-persyaratan dan hukum yang berlaku.
2.
Penulis menganggap bahwa dalam penyusunan
makalah ini masih sangat jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritikan dan
saran yang bersifat membangun, mendidik masih sangat kami harapkan demi
perbaikan makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Mahfudh, Sahal MA.2011.Solusi Problematika
Aktual hukum Islam.Surabaya:Khalista.
http://burgerawa.wordpress.com/2012/12/31/sistem-pengangkatanadopsi-anak-dalam-hukum-adat-indonesia/ diakses pada tanggal 11 September 2013
http://indriyaniblog.blogspot.com/2011/06/makalah-adopsi.html diakses ada tanggal 11 September
2013
http://www.daniexe.co.cc/2009/06/adopsi-dalam-pandangan-islam.html diakses pada
tanggal 11 September 2013
http://ustadzmudzoffar.wordpress.com/2009/10/05/hukum-anak-angkat/ diakses pada tanggal 14 September 2013
[1] [1198]. Zhihar ialah perkataan seorang suami kepada istrinya: punggungmu
haram bagiku seperti punggung ibuku atau perkataan lain yang sama
maksudnya. Adalah menjadi adat kebiasaan bagi orang Arab Jahiliyah bahwa bila
dia berkata demikian kepada istrinya maka istrinya itu haramnya baginya untuk
selama-lamanya. Tetapi setelah Islam datang, maka yang haram untuk selama-lamanya
itu dihapuskan dan istri-istri itu kembali halal baginya dengan membayar
kaffarat (denda).
[1199]. Maula-maula ialah seorang
hamba sahaya yang sudah dimerdekakan atau seorang yang telah dijadikan anak
angkat, seperti Salim anak angkat Huzaifah, dipanggil maula Huzaifah.
[2] [1219]. Maksudnya: setelah habis idahnya.
[1220]. Yang dimaksud dengan orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya ialah Zaid bin Haritsah. Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dengan memberi taufik masuk Islam. Nabi Muhammadpun telah memberi nikmat kepadanya dengan memerdekakan kaumnya dan mengangkatnya menjadi anak. Ayat ini memberikan pengertian bahwa orang boleh mengawini bekas isteri anak angkatnya.
[1220]. Yang dimaksud dengan orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya ialah Zaid bin Haritsah. Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dengan memberi taufik masuk Islam. Nabi Muhammadpun telah memberi nikmat kepadanya dengan memerdekakan kaumnya dan mengangkatnya menjadi anak. Ayat ini memberikan pengertian bahwa orang boleh mengawini bekas isteri anak angkatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar