Pages

Kamis, 22 November 2012

SHORT STORY


NYAWA MELAYANG DEMI KEBAHAGIAAN ORANGTUA

Tit…tit...tit...Itulah suara dengan garis dan angka yang keluar dari layar monitor yang berada di ruangan yang bersih, berdinding putih dengan satu ranjang di dalamnya. Dan juga mengalir cairan seperti air dan oksigen melalui selang kecil menuju ke tangan dan hidung seseorang yang sedang terbaring lemas tak sadarkan diri di atas ranjang. Sudah tiga hari seseorang ini tak sadarkan diri. Entah sampai kapan ayah dan ibu dari anak sematang wayang ini harus rela tidur menunggu anaknya di ruangan ini.
            Raka, ya Raka Enggar Permana, itulah nama dari sosok pejuang yang rela menukarkan nyawanya dengan kebahagiaan kedua orangtuanya ini. Sejak kecil ia terkenal sebagai anak yang yang penurut, rajin dan patuh dengan orang tuanya. Bahkan sejak SD hingga SMA setiap kenaikan kelas  penghargaan selalu digenggamnya atas prestasi yang ia dapatkan. Menjadi  the best five di kelasnya sudah hal yang biasa. Tak hanya dalam bidang akademi, tetapi juga di bidang olah raga pun mampu ia takhlukkan. Ini semua ia lakukan agar bias menjadi TNI-AD.
           
Awalnya Pak Rafli, sosok yang menjadi tulang punggung keluarga Raka tidak menyetujui cita-cita anaknya ini.
            “Ayah keberatan Nak, kalau kamu tentara. Bukannnnya ayah melarang kamu mempunyai cita-cita yang tinggi itu. Zaman sekarang uang dan kekuasaanlah yang lebih berkuasa. Kemana ayah harus mencari uang untuk memasukkan kamu ke dalam akademi kemiliteran. Cukup untuk makan sehari-hari saja ayah sudah sangat bersyukur. Kenapa kamu gak bantu ayah saja jualan siomay?”, tutur ayah yang membuat Raka kecewa saat ia minta izin untuk mendaftarkan diri menjadi TNI.
            “Tapi Yah, Raka pengin jadi tentara”, balas Raka disertai dengan air mata yang terus menetes membasahi pipinya.   Raka langsung bangun dari tempat duduknya tak mendengarkan kata-kata ayahnya. Dan “Brak….”, suara dari pintu kamar Raka.
            Ayah Raka kembali duduk dengan lemas. Sementara ibunya hanya diam tak kuat menahan air matanya yang terus berlinangan. 
            Lima jam sudah Raka mengurung diri di kamarnya. Tak bersuara dan tak keluar sama sekali walaupun hanya sekedar  buang air kecil saja. Rasa gundah semakin menghantui hati ibu Karin, seorang ibu yang lembut dan penyayang. Perasaan yang sama juga dirasakan ayahnya. Ia mondar-mandir di ruang tamu memikirkan anaknya. Mereka berdua cemas terjadi sesuatu pada Raka, padahal besok pengumuman kelulusan SMA.
            “Tok….tok….tok….. , Raka…”, tak henti-hentinya ibu mengetuk pintu Raka dan memanggil putra kesayangannya meminta untuk keluar tapi Raka tidak menghiraukannya. Bahkan mengintip saja pun ia tak sudi.




            Pagi harinya “Kring…..”, telpon berdering dan ternyata dari wali kelas Raka. Berlarilah ibu dan segera mengangkatnya.  Saat itu Raka tak kunjung keluar juga dari kamarnya. Wali kelas Raka memberi tahu bahwa Raka lulus dengan NUN tertinggi di sekolahnya. Mendengar berita tersebut kata Alhamdulillah yang pertama kali keluar dari mulut suami Pak Rafli ini. Kata tersebut sebagai wujud rasa syukurnya kepada Sang Kholiq. Tak sabar ia dan langsung lari keluar rumah untuk memberitahu suaminya yang sedang menyiapkan barang dagangannya di gerobaknya. Mendengar pembicaraan ayah Raka akhirnya mau keluar kamar. Ia mendengar kalau telah mendapatkan NUN tertinggi. 
“Syukurlah, berarti ini bisa membantuku lebih gampang menjadi tentara. Tapi aku harus tetap belajar dan berlatih fisik. Aku harus buktikan pada ayah dan ibu tanpa uang pun insyaallah aku bisa menjadi TNI-AD.”, batin Raka.




            Dentuman bedug dan suara adzan sayup-sayup terdengar di telinga Raka. Ia mulai membuka mata sedikit demi sedikit. Tawa manispun keluar dari bibir Raka yang sempat membuat heran. Bangun tidur tiba-tiba tersenyum sendiri. Ternyata dia bermimpi telah menjadi seorang dengan pakaian yang serba hijau dengan motif  berwarna hitam, topi kabaret di kepalanya, memakai sepatu tinggi atau apalah itu namanya dan pistol di tangannya.
Jam menunjukkan angka 04.30 Raka bergegas mandi dan sholat shubuh. Setelah itu pergi ke sekolah untuk menanyakan waktu pengambilan  ijazah dan surat-surat lainnya. Setelah tiba di sekolah ia langsung menemui wali kelanya di ruang guru. Ternyata ia harus menunggu beberapa minggu lagi.
            Di rumah, ibu dari satu anak ini  termenung memikirkan niat anaknya yang tegas ingin menjadi TNI-AD. Ia bingung apa yang harus ia lakukan agar membuat anaknya bahagia tanpa menyakiti hati suaminya. Tak henti-hentinya doa dilantunkan.                       
            Minggu berganti minggu, dan tibalah waktunya pengambilan ijazah dan surat kelulusan lainnya. Raka ke sekolah dengan wajah yang ceria. Sudah banyak siswa yang dating. Raka langsung masuk kelas. Dan tak lama kemudian pembagian dilaksanakan. Raka Enggar Permana, nama yang pertama kali disebut wali kelasnya. Raka langsung maju mengambilnya dan bertanda tangan sebagai bukti pengambilan. Kemudian ia langsung pulang dan menunjukkan kepada keluarganya.
            Beberapa hari kemudian ia pamit kepada orang tuanya akan pergi bersama Joe. Ia tidak bilang kalau akan mendaftarkan diri menjadi TNI.Raka langsung menuju ke rumah Joe untuk mengajak Joe menemaninya ke Yonif 1939 untuk mendaftarkan diri . Setelah tiba di sana ia meminta formulir dan mengisinya. Setelah mengumpulkan  ia mendapatkan pengumuman mengenai pelaksanaan tes-tes yang harus ia laksanakan nantinya. Mulai dari tes akademi, fisik, psikologi, dll.
            Beberapa hari ia habiskan untuk melalui tes-tes tersebut. Setelah selesai menjalani tes yang terakhir ia baru menceritakan kepada orangtuanya kalau ia baru saja melakukan tes menjadi TNI-AD. Dan sekarang tinggal menunggu pengumuman dari kantor pos. Mendengar  cerita anaknya ini orang tuanya tercengang. Mereka tak percaya kalau anaknya benar-benar nekad untuk menjadi TNI-AD.
            Matahari berganti bulan dan bulan berganti matahari, menunggu dan menunggu. Itulah yang dilakukan keluarga yang harmonis ini. Mereka sudah tidak sabar menunggu surat dari kantor pos.
            Dan tiba-tiba, “tok…tok…tok...”, suara yang terdengar dari balik pintu. Ternyata tukang pos dengan beberapa surat yang dipegangnya dan memberikan kepada Raka.
            Kemudian Raka berlari menemui orang tuanya di belakang rumah dan memberitahu kalau ia telah menerima surat. Lalu mereka bergegas ke dalam rumah dan segera membuka surat yang terlem rapi.
            “Krek……”, Pelan-pelan ia buka surat itu. Dikeluarkan kertas penuh tulisan dan dibacanya. Dan ternyata dia lolos menjadi TNI-AD. Sungguh luar biasa.
                                                                             
            Bulan berganti bulan dan tahun berganti tahun, tiga tahun sudah Raka mendapat tugas membela negara. Sudah tiga tahun ia mengenakan pakaian seperti yang pernah ia mimpikan. Dan selain itu, selama tiga tahun ini ia telah mendapat gelar sebagai pelari terbaik dan tercepat. Ia telah menjadi juara 1 lomba lari marathon.
            Ketika sedang berbincang-bincang di ruang tamu, raka tiba-tiba berbicara aneh.
            “Yah, Bu, bagaimana kalau sewaktu-waktu Raka pergi jauh? Ibu dan ayah rela apa gak melepaskan Raka?”
            “Ya, boleh kalau tujuan kamu baik, misal ada tugas dari pimpinanmu.”, balas ibu.
            “ Alhamdulillah, uwh ya Yah, Bu, Raka minta doa restunya soalnya Raka minggu depan mau mengikuti lomba lari  seperti dulu lagi.”
            “ Uwh ya otomatis ibu doakan.”
            Sebelum matahari mengintip di ufuk timur, Raka bergegas pergi ke Yonif 1939. Ia akan berangkat bersama teman-temannya yang akan mengikuti lomba juga. Mereka berangkat dengan naik mobil Maskumambang bersama pelatihnya. Setelah melakukan perjalanan yang lumayan jauh akhirnya mereka sampai di area perlombaan. Mereka kemudin ganti baju dan melakukan pemanasan sebentar.
            “Prrriiitttttt…”, bunyi peluit dari pemimpin perlombaan pertanda bahwa lomba akan segera di mulai.
            Raka mendapatkan nomor punggung 39. Di awal ia berlari dengan santai tujuannya untuk menghemat tenaga. Sambil lari ia tak henti-henti menyebut asma Allah. Di tengah-tengah perjalanan ia mulai mempercepat langkahnya. Satu persatu peserta mulai ia lalui. Dan mulai mendekati garis finish ia menduduki urutan pertama. Ia terus berlari dan semakin mempercepat langkahnya. Keringat telah bercucuran dari tubuh kekarnya. Dan garis finish tinggal beberapa langkah lagi. Teriakan ayah dan ibu mulai terdengar.
            “Raka, ayo Raka, maju terus tinggal beberapa langkah lagi, Nak!!!!!!”, Teriakan ayah dan ibu Raka sambil menepuk tangan mereka.
            Kira-kira kurang 10 langkah lagi, langkah raka mulai melambat, bibirnya dari merah menjadi putih, napas mulai tersendat-sendat  dan langkah mulai gentoyoran. Dan tiba-tiba,
            “Raka………”, teriak ibunya sambil lari ke arah Raka.
            Dan penonton pun tercengang. Ternyata sosok pejuang yang gigih tergeletak di tengah-tengah area perlombaan. Mata tertutup dan tubuhnya lemas. Berbondong-bondong petugas kesehatan mengangkat Raka dan membawanya ke ambulan. Di dalam mobil ayah dan ibu Raka tak kuasa menahan tangisnya. Sesampai di rumah sakit, UGDlah ruangan yang pertama kali mereka tuju. Lalu segeralah ia diperiksa oleh dokter. Ternyata ia terkena penyakit jantung.  
            Sudah tiga hari ia terbaring di ranjang dengan dua selang di tubuhnya, di hidung dan di tangannya. Lantunan ayat-ayat Al-Quran tak henti-hentinya dilantunkan kedua orang kesayangannya. Doa dan sholawat selalu mengiringi Raka di bawah alam sadarnya. Kerabat dan saudaranya serta tak ketinggalan Joe teman dekatnya bergantian datang menjenguknya.
            Dan sekarang sudah lima hari Raka tidak kunjung sadar. Ayah dan ibu raka setia mendampinginya. Dan tepatnya hari Jumat pada saat itu jarum jam  menunjukkan angka 10.00 WIB, tiba-tiba, “Tiiiiiiiitttttttt……………..”
            Suara monitor yang mula-mula berbunyi teratur dan muncul garis-garis bergelombang seperti rumput berubah bunyi panjang dan menjadi garis lurus. Kepanikan muncul di hati ayah dan ibu Rafli. Berlarilah ayahnya memanggil dokter. Dokter berlari menuju ruangan raka dan memeriksa Raka.
            “Maaf  Bu, nyawa anak ibu sudah tidak bisa kami selamatkan. Anak ibu sudah pergi ke rahmatullah.”, Kata-kata terakhir yang disampaikan dokter kepada orangtua Raka.
            “Apa,,,,,?” Dan “Brak……” Tubuh ibu Raka terjatuh dan menabrak ranjang. Sedangkan ayah Raka memeluk dan menaruh tangan anaknya bersedekap di atas perutnya.
            Demikianlah perjuangan Raka demi melihat orangtuanya bahagia. Meski tubuh tidak dalam kondisi fit ia tetap saja memaksakan diri untuk mengikuti lomba. Karena ia tak mampu melihat orang tuanya kecewa. Sungguh pengorbanan yang sungguh luar biasa. 
#TAMAT#


1 komentar: